Selasa, 11 Maret 2008

Kemiskinan & Ketidakberdayaan Nelayan MTB

KEMISKINAN DAN KETIDAKBERDAYAAN NELAYAN

DI KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT

Oleh SIMON SOPAKUA*

“Lebih baik beta kerja di Koperasi LEPP-M3 dari pada sebagai nelayan, yang seng jelas pendapatannya”. Itulah pernyataan dari om Jhon (panggilan akrab untuk Jhon Kai) salah seorang ketua Kelompok Nelayan di kota Saumlaki kecamatan Tanimbar Selatan kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB), tepatnya di Gunung Nona. Awalnya bermata pencaharian sebagai nelayan yang setiap harinya melaut menangkap ikan kemudian dijual kepada papalele (para tengkulak) dan selanjutnya dijual ke pasar, namun sekarang telah beralih profesi sebagai karyawan pada Koperasi Lembaga Ekonomi Pemberdayaan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPP-M3) salah satu lembaga yang khusus menangani proyek Kelautan dan Perikanan di kabupaten MTB, karena merasa tak mampu memenuhi kebutuhan keluarganya maupun kebutuhan untuk melaut seperti membeli armada dan peralatan penangkapan ikan serta bahan bakar, dengan pendapatan yang tidak seberapa.

Dan lebih parah lagi mereka (para nelayan) pernah didata oleh Dinas Kelautan dan Perikanan setempat untuk mengikuti Pelatihan Keterampilan Penangkapan Ikan di Ambon dengan catatan bahwa setelah kembali mereka akan difasilitasi dengan memberikan bantuan armada penangkapan ikan dan modal usaha melalui Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Namun kenyataan bercerita lain dimana bantuan yang diberikan tidak tepat sasaran dalam hal ini bantuan diberikan kepada kelompok yang terbentuk karena proyek bukan kepada mereka yang betul-betul adalah nelayan (bermata pencaharian sebagai nelayan).

Kenyataan ini merupakan suatu bukti nyata bahwa sebagaian besar masyarakat pesisir (nelayan) akan “tetap dan tetap mengalami kemiskinan. Kemiskinaan disini adalah suatu konsep yang cair serba tidak pasti dan bersifat multi dimensional. Disebut cair karena bisa bermakna subjektif tetapi sekaligus juga bermakna objektif. Secara objektif bisa saja masyarakat tidak dapat dikatakan miskin karena pendapatannya sudah berada di atas batas garis kemiskinan, yang oleh kebanyakan ahli diukur menurut standar kebutuhan pokok berdasarkan atas kebutuhan beras dan gizi. Akan tetapi, apa yang tampak secara objektif tidak miskin itu bisa saja dirasakan sebagai kemiskinan oleh pelakunya karena adanya perasaan tidak mampu memenuhi kebutuhan ekonominya, atau bahkan dengan membandingkan kondisi yang dialami oleh orang lain, yang pendapatannya lebih tinggi darinya.

Kabupaten MTB dengan luas wilayah 125.422 km2, terdiri dari bentangan laut 110.838 km2 dan daratan 14.585 km2. Penduduknya tinggal di 88 pulau dari 133 pulau yang ada. Hasil tangkapan ikan di tahun 2001 baru mencapai 4.520 ton, dan jika dibandingkan dengan luas wilayah lautan, hasil tangkapan tersebut masih jauh dari harapan, mengingat potensi perikanan disana seperti ikan tuna, cakalang, tongkol, marlin, dan tenggiri 755.000 ton per tahun. Kecilnya hasil tangkapan tersebut seimbang dengan kondisi peralatan, sumber daya manusia dan cara penangkapan. Menurut data Dinas Kelautan dan Perikanan terdapat 3.220 perahu tanpa motor, 230 motor temple, dan 93 kapal motor. Sementara jumlah nelayan sekitar 11.100 jiwa sebagian besar masih menangkap dan mengelola hasil tangkapan secara tradisional dengan sarana penangkapan yang digunakan berupa jaring, pancing bubu, jala, bagan apung dan alat pengumpul lainnya.

Dari segi kepemilikan alat tangkap, nelayan di kabupaten MTB dapat dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan juragan dan nelayan perorangan. Nelayan buruh adalah nelayan yang tidak memiliki peralatan dan sarana penangkapan; nelayan juragan yaitu nelayan yang mempekerjakan nelayan buruh dan dilengkapi berbagai peralatan dan sarana penangkapan ikan; sedangkan nelayan perorangan memiliki sarana dan armada penangkapan sendiri. Dari ketiga kelompok tersebut pada umumnya nelayan juragan tidak miskin. Kemiskinan nelayan cenderung dialami oleh nelayan perorangan dan nelayan buruh. Karena kedua jenis kelompok itu jumlahnya mayoritas yang citra kemiskinan melekat pada kehidupannya.

Pada sisi yang lain dilihat dari lingkupnya, kemiskinan nelayan terdiri atas kemiskinan prasarana dan kemiskinan keluarga. Kemiskinan prasarana dapat diindikasikan pada ketersediaan prasarana fisik di desa-desa nelayan, yang pada umumnya masih sangat minim, seperti tidak tersedianya air bersih, jauh dari pasar dan tidak adanya akses untuk mendapatkan bahan bakar yang sesuai dengan harga standar. Kemiskinan prasarana itu secara tidak langsung juga memiliki andil bagi munculnya kemiskinan keluarga. Misalnya, tidak tersedianya air bersih akan memaksa keluarga untuk mengeluarkan uang untuk membeli air bersih yang berarti mengurangi pendapatan mereka. Kemiskinan prasarana dapat mengakibatkan keluarga yang berada dibawah garis kemiskinan (near poor) bisa merosot ke dalam kelompok keluarga miskin.

Sesungguhnya, ada dua hal utama yang terkandung dalam kemiskinan, yaitu kerentanan dan ketidakberdayaan. Dengan kerentanan yang dialami orang miskin akan mengalami kesulitan untuk menghadapi situasi darurat. Ini dapat dilihat pada nelayan perorangan, seperti om Jhon dan teman-temannya yang mengalami kesulitan membeli bahan bakar untuk keperluan melaut. Hal ini disebabkan sebelumnya tidak ada hasil tangkapan yang bisa dijual, dan tidak ada dana cadangan yang dapat digunakan untuk keperluan mendesak. Hal yang sama juga dialami oleh nelayan buruh, mereka merasa tidak berdaya di hadapan juragan yang telah mempekerjakannya, meskipun bagi hasil yang diterimanya dirasakan tidak adil.

Ketidakberdayaan Teknologi dan Ekonomi Nelayan

Jika ketergantungan nelayan terhadap teknologi penangkapan itu sangat tinggi disebabkan selain sumber daya perikanan yang bersifat mobile, yaitu mudah berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, juga untuk menangkapnya nelayan perlu sarana bantu untuk dapat bertahan lama hidup di atas air.

Pada umumnya para nelayan di MTB masih mengalami keterbatasan teknologi penangkapan. Dengan alat tangkap yang sederhana, wilayah operasi pun menjadi terbatas, hanya disekitar perairan pantai. Disamping itu ketergantungan terhadap musim sangat tinggi, sehingga tidak setiap saat mereka bisa turun melaut, terutama pada musim ombak yang bisa berlangsung sampai lebih dari satu bulan. Akibatnya selain hasil tangkapan menjadi terbatas, dengan kesederhanaan alat tangkap yang dimiliki , pada musim tertentu tidak ada tangkapan yang bisa diperoleh. Kondisi ini merugikan nelayan karena secara riil rata-rata pendapatan per bulan menjadi lebih kecil dan pendapatan yang diperoleh pada saat musim ikan akan habis dikonsumsi saat paceklik.

Selain rendahnya teknologi penangkapan yang dimiliki oleh nelayan pada umumnya, hal lain yang dihadapi nelayan di MTB adalah tidak semua nelayan memiliki alat tangkap. Bagi nelayan yang demikian tidak ada alternatif lain kecuali hanya bekerja pada orang lain yang membutuhkan tenaganya yaitu menjadi buruh nelayan. Permasalahannya adalah selain minimnya hasil tangkapan dengan alat tangkap sederhana, sistem bagi hasil yang dilakukan oleh para juragan juga cenderung kurang menguntungkan nelayan buruh. Hal ini banyak dialami oleh nelayan di Gunung Nona (wilayah pemukiman om Jhon) yang sebagian besar mereka bekerja di ”bagan apung” (salah satu jenis alat tangkap ) milik juragan tertentu.

Kemampuan untuk meningkatkan peralatan sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi seorang nelayan. Sesuai dengan kondisi ekonominya, peralatan yang mampu dibeli adalah peralatan yang sederhana, atau bahkan mungkin tidak mampu membeli peralatan tangkap sama sekali sehingga menempatkan kedudukannya sebagai buruh nelayan. Oleh karena itu, untuk mengembangkan variasi alat tangkap yang dimiliki bukan hal yang mudah dilakukan. Akibatnya kemampuan untuk melakukan atau meningkatkan hasil tangkapan menjadi sangat terbatas. Kondisi ini mengakibatkan nelayan mengalami kesulitan untuk dapat melepaskan diri dari kemiskinan karena kemiskinan yang dialami oleh para nelayan tersebut telah menjadi semacam ”lingkaran setan”.

Produksi hasil laut yang diperoleh nelayan hanya akan memiliki nilai lebih apabila tidak hanya digunakan untuk dimakan, tetapi juga untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena itu, masalah pemasaran merupakan aspek penting dalam kehidupan nelayan. Permasalahannya adalah akses terhadap pasar sering tidak dimiliki oleh para nelayan, terutama yang berada di daerah pedesaan yang jauh dari perkotaan. Sementara itu, kondisi ikan yang mudah busuk, merupakan masalah besar yang dihadapi para nelayan.

Upaya Mengatasi Kemiskinan Nelayan

Ada empat masalah pokok yang menjadi penyebab dari kemiskinan, yaitu kurangnya kesempatan (lack of opportunity), rendahnya kemampuan (low of capabilities), kurangnya jaminan (low level-security) dan keterbatasan hak-hak sosial, ekonomi dan politik sehingga menyebabkan kerentanan (vulnerability), keterpurukan (voicelessness), dan ketidakberdayaan (powerlessness) dalam segala bidang.

Contoh dari keempat hal tersebut dapat dilihat dari mana kemiskinan yang terjadi pada masayarakat pantai pada umumnya dan masyarakat nelayan MTB khususnya, dimana faktor-faktor yang menjadi penyebabnya, dikelompokkan atas : (1) masalah yang berkaitan dengan kepemilikan alat tangkap atau lebih jelasnya perahu motor sebagai armada penangkapan; (2) akses terhadap modal khususnya menyangkut persyaratan kredit; (3) persyaratan pertukaran hasil tangkapan yang tidak berpihak pada nelayan buruh; (4) sarana penyimpanan ikan; (5) hak penguasaan kawasan tangkap; dan (6) perusakan sistem organisasi masyarakat pesisir/pantai.

Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, maka sejak Pemerintahan Megawati Sukarno Putri telah mengembangkan Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir, yang pada tahun 2004 mencakup 126 kabupaten termasuk kabupaten MTB. Ini merupakan proyek besar yang harus ditangani secara hati-hati dan cermat sehingga tujuan pemberdayaan bisa tercapai. Untuk itu diperlukan sejumlah agenda untuk pemberdayaan masyarakat pesisir (nelayan) di kabupaten MTB. Pertama. Terus mengupayakan tersedianya sistem kredit lunak dan teknologi untuk meningkatkan produktivitas nelayan sehingga para nelayan mampu menjadi ”tuan rumah di lautnya sendiri”. Disinilah peran pemerintah dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten MTB untuk dapat meyakinkan lembaga perbankan agar dapat mendukung sektor kelautan dan perikanan.

Kedua, memacu peningkatan kualitas SDM nelayan MTB, bukan hanya pengetahuan, tetapi juga keterampilan dan kesehatan baik fisik maupun mental. Ketiga, mengembangkan institusi ekonomi di masyarakat pesisir (nelayan) untuk menciptakan ketahanan ekonomi menghadapi dinamika perubahan luar. Disinilah organisasi ekonomi masyarakat pesisir harus solid.

Keempat, memperkuat jaringan nelayan. Ada tiga hierarki jaringan: (a) Intra-community; (b) inter-community; dan (c) supra-community. Jaringan dalam masyarakat (intra-community) dimaksudkan untuk mengonsolidasikan kelompok nelayan yang selama ini beragam karena dibentuk oleh “proyek” Banyak kelompok nelayan yang ditemukan di MTB yang dibentuk Departemen Kelautan dan Perikanan karena proyek, artinya ketika ada proyek barulah kelompok dibentuk. Jaringan antarmasyarakat (inter-community) adalah dalam membangun kerja sama dan saling pengertian antar masyarakat nelayan, khususnya dalam hal pemanfaatan sumber daya. Ini penting untuk mengantisipasi konflik nelayan antar desa atau lokasi.

Adapun jaringan luar masyarakat (supra-commonity) penting untuk integrasi ekonomi. Nelayan akan berkembang bila terintegrasi dengan lingkungan ekonomi diluarnya. Disinilah kesempatan membangun kemitraan dengan swasta terbuka.

Kelima, pemerintah harus terus memberikan perlindungan hukum kepada nelayan yang dirugikan dari berbagai kasus.

Keenam, berbagai program pemberdayaan seyogianya dilengkapi indicator keberhasilan. Tampaknya sampai saat ini belum tersedia data berapa jumlah nelayan miskin dan miskin sekali, dan bagaimana perubahan komposisi jumlah nelayan miskin setelah ada program pemberdayaan, padahal data ini sangat penting sebagai ukuran efektifitas program ini.


Simon Sopakua

Guru SMK Negeri 1 Saumlaki kabupaten Maluku Tenggara Barat

sedang mengikuti kuliah Pascasarjana

pada Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya

email to:ss_matriks@yahoo.co.id

2 komentar:

Sail Saumlaki mengatakan...

Ok. Mantap Mon Kayak Professor aja... klick gue punya http://andityamanpendampingperencanaan.blogspot.com...
trus penulisannya sampaikan ke teman-teman MTB...supaya artikelnya masuk di http://polapikirmalukutenggarabarat.blogspot.com

tresnie mengatakan...

om, tambah mantap aja. maju trus pantan mundur, if you ragu-ragu mundur aja boo... capek yaaa om......tresnie.multiply.com