Selasa, 11 Maret 2008

Model Pengelolaan SD PP Kecil

PERAN Sasi SEBAGAI MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA PULAU – PULAU KECIL DI KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT

oleh : Ellias Lamerburu *

PengumumanMulai hari ini laut yang menjadi petuanan desa di sasi dan barang siapa yang ketahua melanggar sasi ini maka resikonya ditanggung sendiri ” Demikian salah satu cuplikan pengumuman secara lisan dari pemerintah desa kepada seluruh masyarakat ttentang larangan sasi .

Sebelum membahas tentang sasi maka terlbih dahulu kita lihat kodisi umum Kabupaten Maluku Tenggara Barat.

Kabupaten Maluku Tenggara Barat sebagai salah satu Kabupaten baru yang terbentuk berdasarkan Undang – Undang Nomor 46 Tahun 1999 . Kabupaten ini secara astronomis terletak antara 6° - 8°30¢ LS dan 125°45¢ - 133° BT dengan batas- batas sebagai berikut:

- Sebelah Utara : Laut banda

- Sebelah Selatan : Laut Timor dan Laut Hindia.

- Sebelah Barat : Laut Flores

- Sebelah Timur : Laut Arafura .

Kabupaten Maluku Tenggara Barat merupakan wilayah serba pulau, ”Laut Pulau” (wilayah kepulauan) dengan luas wilayah 125.422,4 km2 yang terdiri dari luas wilayah laut 110.838,4 km2 (88,37% ) dan luas wilayah darat 14.584 km2 (11,63 % ),berkonsentrasi pada 4 (empat) gugus pulau yaitu : 1) gugus pulau Tanimbar dengan luas daratan 5.936 km2 , 2) gugus pulau- pulau Babar dengan luas daratan 2.456 km2., 3) gugus pulau- pulau Terselatan dengan luas daratan 4.686 km2 , dan 4) Pulau – pulau Leti, Moa, Lakor dengan luas daratan 1.506 km2.

Dengan kondisi luas wilayah laut yang besar (88,37%) maka Kabupaten Maluku Tenggara Barat memiliki sumber daya kelautan yang besar pula. Menyadari akan kondisi ini maka salah satu pendekatan pembangunan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat menggunakan pendekatan pembangunan pulau pulau kecil (pesisir).

Kawasan Pulau – pulau kecil (pesisir) memiliki potensi pembangunan yang cukup besar karena didukung oleh adanya ekosistem dengan produktifitas tinggi seperti terumbu karang (coral reef), padang lamun (seagrass), rumput laut dan hutan bakau ( mangrove).

Sumber daya hayati pada kawasan ini memiliki keragaman dan nilai ekonomis tinggi. Selain itu pulau – pulau kecil memberikan jasa – jasa lingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya dan sekaligus berfungsi sebagai kawasan kegiatan.

Dari segi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat, pulau- pulau kecil bersifat khas dibandingkan dengan pulua induknya. Pengelolaan pulau-pulau kecil yang berbasis masyarakat harus memperhatikan adat, norma dan / sosial budaya serta kepentingan masyarakat adat setempat. Pihak ketiga yang mengelola sumberdaya di pulau –pulau kecil harus memberdayakan masyarakat lokal.

Pemerintah Daerah Kabupaten dapat memberikan ijin pengelolaan pulau – pulau kecil dan wilayah perairannya kepada pihak ketiga sesuai dengan hukum adat (sasi ), dan peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Sasi sebagai model Pengelolaan sumberdaya .

Masyarakat di Kabupaten Maluku Tenggara Barat teristimewa masyarakat pesisir menganut sistem hak kepemilikan laut yang dikenal dengan Hak Ulayat Laut (HUL) ( Sea Tenure). Menurut pakar kelautan Laundsgaarde, HUL (Sea Tenure ) mengacu kepada seperangkat hak dan kewajiban timbal balik yang muncul dalam hubungannya dengan kepemilikan wilayah laut. Selanjutnya Wahyono yang mengutip Sudo (1983) , mengatakan bahwa sea tanure merupakan suatu sistem dengan beberapa orang atau kelompok sosial memanfaatkan wilayah laut dan mengatur tingkat eksploitasinya, termasuk melindunginya dari ekploitasi yang berlebihan (over- eksploitation).

Adapun, pengelolaan HUL di Maluku ( termasuk Kabupaten Maluku Tenggara Barat) dikenal dengan sebutan sasi yang mengandung makna larangan untuk melakukan sesuatu dalam hubungannya dengan lingkungan dan sumber daya laut.

Sasi adalah salah satu dari model pengelolaan sumberdaya kelautan yang dilakukan sebagian masyarakat pesisir di Propinsi Maluku. Sasi adalah suatu kesepakatan tradisional tentang pemanfaatan sumberdaya alam yang disusun masyarakat dan disahkan melalui mekanisme struktural adat di suatu desa. Organisasi pengelola sasi di Propinsi Maluku disebut Kewang. Secara umum dikenal 2 (dua ) macam sasi yaitu sasi negeri dan sasi gereja .Perbedaan pokok dari kedua macam sasi ini hanya terletak pada pelaksananya yaitu sasi negeri pelaksananya adalah kewang sedangkan sasi gereja dilaksanakan oleh gereja dan pendeta.

Khusus untuk masyarakat di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, juga memiliki mekanisme pelaksanaan sasi yang sama dengan masyarakat di Maluku umumnya, dimana setelah ditetapkan periode pelaksanaan sasi, zona sasi juga dirumuskan sangsi – sangsi terhadap pelanggaran sasi. Zona sasi adalah sepanjang pantai yang merupakan hak desa tersebut, dan ke arah laut, zona ini mulai dari surut terendah sampai kedalaman 25 m. Dengan demikian, sebuah zona sasi merupakan daerah terbatas bagi pemanfaatan sumberdaya alam yang sepenuhnya diatur melaui peraturan sasi.

Sumberdaya di Kabupaten Maluku Tenggara Barat yang dilindungi oleh hukum sasi adalah teripang putih (Holothuria scabra ), Bia Garu (Tridacna gigas) ,Batu Laga, Lola , Tiram Mutiara (Pinctada maxima), Ikan Napoleon , Bivalvia , dan sebagainya.

Salah satu desa di Kabupaten Maluku Tenggara Barat yang memberlakukan sasi adalah desa Olilit Raya , Kecamatan Tanimbar Selatan. Desa ini terdiri dari dua anak desa yang merupakan desa pesisir di Timur (Olilit Timur ) dan di pesisir Barat ( Olilit Barat ). Biasanya Keseluruhan Peraturan yang terdapat dalam sistem sasi disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi oleh para tetua adat . Namun di desa Olilit ,sudah diakomodasi pelaksanaanya oleh pemerintah formal melalui legitimasi secara tertulis dan formal dari pemerintah desa tahun 1990- an. Dengan demikian sejak saat itu sasi menjadi suatu pranata yang formal dan legal di tingkat desa. Di dalam sistem sasi juga diatur juga mekanisme sangsi jika terdapat pelanggaran dalam pelaksanaan sasi.

Pihak yang melanggar sasi akan ditangkap dan dikenai sangsi dengan cara membayar denda atau hukuman lain sesuai aturan sasi yang berlaku di desa setempat. Misanya di desa Olilit, selain sangsi denda berupa ganti rugi juga terdapat sangsi fisik yang sewaktu waktu dapat diterapkan sesuai kebutuhan dan kondisi setempat.

Secara jelas tergambar betapa mulianya tujuan dari pemberlakuan sasi di Kabupaten Maluku Tenggara Barat yaitu untuk melindungi keberlangsungan sumber daya pulau pulau kecil yang ada sehingga dapat dinikmati oleh generasi mendatang.

Namun secara nyata belum sepenuhnya masyarakat Olilit menyadari akan tujuan mulia ini sehingga eksploitasi akan sumberdaya laut dilakukan secara berlebihan tanpa mempertimbangkan dampak dari eksploitasi yang berlebihan tersebut walaupun ada sangsi yang diberlakukan. Selain itu adalah penggunaan bahan peledak untuk penangkapan ikan, potasium sianida untuk membius ikan. Hal ini disebabkab oleh kurangnya kesadaran dan pemahaman akan manfaat sumberdaya serta tingkat, sistem kapling laut yang ”melegalkan” kepemilikan laut secara perorangan, sehingga setiap orang menyatakan bahwa laut yang dieksploitasi adalah miliknya secara tutun temurun dari generasi terdahulu.

Yang menjadi tantangan sekarang adalah, seiring dengan semangat reformasi, dan implementasi undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana kepada daerah diberikan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab, maka daerah mempunyai kewenangan untuk mengelola yang meliputi kewenangan dalam : (a) eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut; (b) pengaturan kepentingan administratif; (c) pengaturan tata ruang; (d) penegakan hukum yang menjadi wewenangnya ; dan (e) bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara khususnya laut.

Ada beberapa masalah yang terjadi baik disadari maupun tidak yang merupakan akibat dari pelaksanaan dalam pembangunan wilayah pesisir dan lautan di Indonesia termasuk di Kabupaten Maluku Tenggara Barat selama ini antara lain adalah; pencemaran, degradasi habitat, over eksploitasi sumber daya ikan, abrasi pantai, konservasi kawasan lindung menjadi peruntukan lain dan bencana alam, serta adanya konflik-konflik pemanfaatan dan kekuasaan.

Pembangunan secara holistik dalam pembangunan mencakup semua aspek. Untuk itu setiap sumber daya lokal patut diketahui dan didayagunakan. Kebanyakan masyarakat pesisir memang bergantung pada kegiatan sektor kelautan (perikanan), tetapi itu tidak berarti bahwa semua orang harus bergantung pada perikanan. Akibat dari semua orang menggantungkan diri pada perikanan yaitu kemungkinan terjadinya degradasi sumber daya ikan, penurunan produksi, kenaikan biaya produksi, penurunan pendapatan dan penurunan kesejahteraan. Gejala ini sama dengan apa yang disebut Gordon (1954) dengan tragedi milik bersama.

Dari uraian singkat di atas semoga sasi sebagai model pengelolaan sumberdaya pulau pulau kecil di Kabupaten Maluku Tenggara Barat dapat diterapkan sehingga keberlanjutan (sustainable) sumberdaya wilayah pesisir di Kabupaten Kelautan ini oleh semua stakeholder dapat terlaksana sesuai yang diharapakan.

Surabaya, 11 Maret 2008

* ) Mahasiswa Program Pasca Sarjana

Fakultas Teknologi Kelautan

Jurusan Teknik dan Manajemen Pantai

ITS – Surabaya.

email: ellias_l@yahoo.co.id

3 komentar:

Sail Saumlaki mengatakan...

Eli beta su baca tapi masih kurang ada foto-foto lokasi penulisan... dari ernes Mantap kayak professor aja...

sonny mengatakan...

Tolong dibuat sistem informasi Pemda Maluku Tenggara Barat, yang memuat segala informasi mengenai perkembangan MTB. Karena kita masyarakat MTB yang berada di luar MTB sangat sulit untuk mengakses informasi mengenai Pemda MTB.
Terima kasih

sonny mengatakan...

Tolong dibuat sistem informasi berbasis Website Pemda Maluku Tenggara Barat, yang memuat segala informasi mengenai perkembangan pemerinathan maupun masyarakat MTB. Karena kita masyarakat MTB yang berada di luar MTB sangat sulit untuk mengakses informasi mengenai Pemda MTB.
Terima kasih