Kamis, 13 Maret 2008

Nelayan Maluku ditenga Ekonomi Kapitalis

GAMBARAN NELAYAN MALUKU DI TENGAH EKONOMI KAPITALIS

Oleh : Mozes M.Batkormbawa


Potongan syair lagu daerah maluku”panggayo… panggayo..e masnait jang pawela” …nampaknya cuplikan syair lagu tahun 1990 an tersebut menggambarkan nelayan sebagai komunitas yang langsung berhubungan dengan perikanan,dan merupakan kelompok yang paling tidak diuntungkan disini.Nasib mereka nyaris sama dengan kondisi laut yang berubah-ubah.Sekali menguntungkan,namun bila badai dan topan datang maka nasib itu akan “berantakan” pula.


Sekedar ilustrasi,mengutip hasil penelitian ahli perikanan bahwa potensi sumberdaya perikanan laut di tiga perairan laut utama provinsi maluku adalah cukup besar,yakni 1).Perairan laut banda mempunyai potensi perikanan sebesar 277,99 ton/tahun, 2).Perairan laut seram dan sekitarnya mempunyai potensi perikanan sebesar 590,62 ton/tahun, 3).Perairan laut arafura dengan total potensi prikanan 771,55 ton/tahun.Bahkan dalam skala nasional,ketiga perairan ini merupakan pilar utama,karena masuk dalam criteria perairan dengan tingkat potensi perikanan yang sangat tinggi di Indonesia,sehingga jika dikembangkan dengan system menejemen yang baik tentu akan memberiakan kontribusi yang sangat besar untuk peningkatan pendapatan daerah maupun pendapatan nasional dari sector perikanan.

Mamang sangat ironis,denagan potensi yang sedemikian besar,jika nelayan yang mendiami daerah-daerah pesisir di Maluku berada dibawah gariskemiskinan dan selama ini justru terpinggirkan dalam pembangunan yang lebih mengarah kepada daratan.

Kemiskinan dapat dipahami dalam berbagai cara yaitu : kekurangan materi yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari,sandang perumahan,dan pelayanan kesehatan.Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar,kekurangan kebutuhan social,termasuk keterkucilan social,ketergantungan dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat termasuk di dalam pendidikan dan informasi.

Beragamnya pengertian kemiskinan tersebut seolah menyadarkan kita bahwa nelayan pada daerah pesisir di Maluku umumnya masih miskin dari berbagai segi,tidak hanya miskin secara capital,akan tetapi juga miskin secara social,politik,kualitas SumberDaya alam dan partisipasi.Berbagai patologi (penyakit)kemiskinan nelayan inilah yang menjadi masalah serius provinsi Maluku.Kebanggaan sebagai provinsi seribu pulau akan luntur jika masalah ini tidak segera diatasi.

Sejak masih dikuasai oleh penjajah belanda sampai hari ini,kemiskinan merupakan masalah yang tidak pernah selesai menerpa sebagia besar masyarakat di Maluku.Kemiskinan pula yang membuat ketidakpuasan rakyat Maluku sehingga mengantarkan “Kapitan Pattimura”dengan seluruh rakyat Maluku membebaskan diri dari pemerintah colonial Belanda.Dasarnya sederhana,pemerintah Belanda tidak mampu menyejahterakan rakyat Maluku.

Harapan untuk lebih sejahtera terbuka luas,saat Negara Kesatuan Republik Indonesia diproklamasikan tanggal 17 agustus 1945 dan provinsi Maluku dibentuk.Namun apa daya,harapan tinggal harapan.Sudah 62 tahun tahun Indonesia memiliki pemerintahan sendiri.Kesejahteraan rakyat Maluku khususnya masyarakat nelayan yang diangan-angankan tak kunjung tiba.

Berbagai upaya untuk mengentaskan kemiskinan telah digagas,baik oleh pemerintah provinsi Maluku maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).Pihak pemerintah kerap mendengung-dengungkan investasi di bidang perikanan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi sebagai solusi pengentasan kemiskinan yang parah,sementara dari sisi LSM,konsep pemberdayaan masyarakat nelayan menjadi andalan mereka.

Kedua konsep investasi asing dan pemberdayaan masyarakat nelayan,sampai hari ini belum menampakan tanda-tanda keberhasilan mengangkat mayoritas nelayan Maluku dari bawah garis kemiskinan.Sebaliknya,pintu investasi asing yang dibuka lebar justru semakin menguatkan hegemoni asing dalam perekonomian dalam negeri.Contoh,kasus kerjasama Pemerintah Indonesia dan Jepang melalui perjanjian “Banda Agreement” pada bulan juli 1968 yang memberikan keleluasaan bagi nelayan asal jepang untuk melakukan penangkapan tuna di perairan laut Banda.Persetujuan ini berlaku selama 7 tahun dimana Pemerintah Indonesia mendapatkan jatah US $ 148.000 dari hasil perjanjian ini.Lewat perjanjian ini juga,Pemerintah Indonesia mendapatkan bantuan secara Cuma-Cuma sebesar US $1.929.000,untuk kerjasama teknik penangkapan ikan termasuk sumbangan pengadaan fasilitas pendukung aktivitas perikanan tangkap,bahkan disetujui pula untuk pemberian bantuan proyek senilai US $ 7.856.000 untuk pembangunan pelabuhan samudera Benoa Bali dan pelabuhan samudera beserta pelelangan ikan modern di Muara Baru Jakarta.

Namun keuntungan ini malah tidak langsung dirasakan oleh masyarakat Maluku,padahal secara geografis laut Banda masuk dalam wilayah perairan provinsi Maluku.Selain Perairan laut Banda,provinsi Maluku juga memiliki potensi perikanan di laut Arafura,namun belum dapat dimanfaatkan secara maksimal potensi perikanan yang ada,karena dibatasi oleh pemerintah pusat dengan memberikan kewenangan provinsi yang hanya sebatas 12 mil laut diukur dari garis pantai kea rah laut lepas dan atau kearah kepulauan perairan,melalui mekanisme UU Otonomi Daerah No.32.Tahun 2004.

Konsekuensinya,nelayan asal Maluku yang mau mengoperasikan armada perikanan diatas 30 GT (Gross Ton) harus melalui persetujuan dan mekanisme perizinan dari pemerintah pusat sebagai bentuk legalitas formal.Alhasil laut Arafura yang potensinya begitu besar namun tidak bias secara maksimal dimanfaatkan oleh masyarakat dan pemerintah Provinsi Maluku.Hal yang lebih menyedihkan bahwa sebagian besar nelayan di daerah ini tidak mempunyai armada dan peralatan penangkapan yang memadai,sehingga wilayah operasipun menjadi terbatas hanya disekitar perairan pantai.Kondisi ini mengakibatkan nelayan mengalami kesulitan untuk melepaskan diri dari kemiskinan sehingga kemiskinan yang dialami oleh para nelayan tersebut menjadi semacam “lingkaran setan”

Sebenarnya berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah Maluku untuk mengentaskan kemiskinan nelayan dan meningkatkan kesejahteraan hidup nelayan namunbanyak kasus pengentasan kemiskinan yang dilakukan dengan menjadikan masyarakat nelayan sebagai objek.ini dilakukan misalnya dalam bentuk pemberian bantuan (yang sebenarnya adalah pinjaman yang harus dibayar oleh nelayan),alat tangkap tidak mengacu pada kebutuhan nelayan,melainkan merupakan paket yang sudah ditentukan dari atas,dan cenderung seragam antar berbagai daerah.Dengan system bantuan yang sifatnya Top Down ini,mengakibatkan alat bantuan menjadi tidak efektif

Melihat berbagai hal yang diuraikan diatas,kemiskinan masyarakat nelayan di Maluku adalah kemiskinan structural yaitu kemiskinan yang diakibatkan Bad Governace.Tanpa perbaikan kebijakan atas sumberdaya yang berpihak kepada kepentingan rakyat banyak,program-program melalui skema apapun untuk mengurangi kemiskinan khususnya kemiskinan nelayan akan mengalami kendala yang serupa di masa lalu.

Kegagalan Sistem Ekonomi

Pertanyaan pertama yang harus dijawab oleh pemerintah dan masyarakat adalah mengapa nelayan di Maluku miskin padahal Daerah kita kaya akan potensi perikanan? Ada beberapa jawaban untuk pertanyaan diatas,salah satunya adalah : kemiskinan nelayan disebabkan ketidakmampuan Negara dalam mengelola sumberdaya perikanan karena anggapan bahwa kita belum bisa mengelola SD Perikanan kita sendiri sehingga harus diolah oleh Negara asing.

Jawaban lain adalah kemiskinan disebabkan kesalahan dalam distribusi sumberdaya alam sehingga kekayaan (yang diperoleh dari sumberdaya alam) tidak dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat Indonesia,melainkan hanya beredar dan dikuasai oleh segelintir orang.Mereka adalah para konglomerat dan pemilik modal.Pemerintah dalam hal ini gagal menjaga,mengelola dan mendistribusikan sumberdaya alam secara merata kepada seluruh rakyat Indonesia.

Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa Sumberdaya alam tersebut dikuasai oleh segelintir orang saja? Jawabannya adalah karena pemerintah tidak lagi menguasai Sumberdaya Alam(SumberDaya Perikanan)setelah menyerahkannya kepada investor asing.Hal ini terjadi karena Indonesia menganut “Sistem Ekonomi Kapitalisme”yang memberikan wewenang sepenuhnya kepada para pemilik modal untuk menguasai sumberdaya Alam serta menjalankan roda perekonomian.

Jika Sumberdaya alam telah dikuasai oleh para pemilik modal maka sudah tentu pendistribusiannya pun dikendalikan oleh mereka dan hasilnya harta kekayaan hanya berputar diantara pemilik modal.Kalaupun ada yang menetes ke masyarakat jumlahnya tidaklah signifikan untuk dapat mengangkat mereka dari kemiskinan.

Oleh karena itu setiap perubahan apalagi terhadap perkara-perkara kemiskinan harus dilakukan secara radikal dan cepat serta menyentuh langsung akar permasalahan yakni mengubah system ekonomi yang ada selama ini.Langkah-langkah yang harus disiapkan dari sekarang adalah melakukan sosialisasi dan advokasi system ekonomi alternative,mengedukasi masyarakat akan pentingnya perubahan system ekonomi baru,serta mempersiapkan birokrasi pemerintahan yang bersih dan mendukung penerapan system ekonomi pengganti Niscaya berangsur-angsur jumlah nelayan miskin di Maluku khususnya akan berkurang.Seperti semboyan Pimpinan bangsa kita “Bersama kita bisa”….Semoga……???

Surabaya,12 Maret 2008

*) Penulis Adalah Mahasiswa Program Pasca Sarjana

Fakultas Teknologi Kelautan

Jurusan Teknik Dan Manajemen Pantai

ITS -Surabaya

Tidak ada komentar: